Pengikut

Kamis, 12 Januari 2012

Religious doubt


                                                                                   BAB I
1.1.1            Pendahuluan
Perkembangan pada usia remaja mengalami banyak gejolak yang pada akhirnya menggoncangkan jiwa dan keyakinannya. Pertumbuhan secara fisik yang begitu menonjol ternyata diikuti oleh perkembangan pemikiran yang membuat dalam banyak hal remaja mengalami peningkatan cukup signifikan. Akan tetapi ada pula yang mengalami penurunan grafik yang terjadi pada diri mereka, salah satunya adalah rasa keber-agamaannya.
Penurunan rasa terhadap keyakinan yang terjadi inilah yang kemudian menjadikan adanya keragu-raguan terhadap ajaran agama. Tentunya juga karena di pengaruhi pula oleh pemikiran pada usia remaja yang meningkat secara signifikan dibandingkan pada saat masih anak-anak.
Pemikiran-pemikiran kritis dan ilmiah yang tumbuh pada otak remaja, membuat remaja berusaha untuk mencari kebebasan. Kebebasan berpikir, kebebasan memilih, kebebasan berkeyakinan, dan juga kebebasan-kebebasan yang lain. Inti dari pencarian kebebasan ini adalah untuk mencari jati diri dan usaha untuk menunjukkan siapakah dirinya di depan orang lain.

Yang amat disayangkan adalah metode pengajaran rasa keagamaan pada saat masih anak-anak (dikeluarga ataupun sekolah) yang berkembang saat ini masih terkesan mengabaikan pemikiran masa remaja ini, sehingga keyakinan terhadap rasa beragama pada usia remaja sering dikritisi oleh mereka. Yang pada akhirnya menimbulkan keraguan beragama pada diri mereka.
Banyak yang mengaku beragama, akan tetapi pangakuan tersebut tidak pernah dilaksanakan dengan menjalankan ajaran agama yang diakunya tersebut. Padahal jika dilperhatikan mereka yang tidak melaksanakan ajaran agama tersebut, pada masa anak-anaknya, mereka adalah anak yang rajin ke gereja ataupun masjid ataupun tempat-tempat ibadah yan lain. Ini disebabkan karena adanya keraguan beragama pada diri remaja.

BAB II
2.1           Pengertian
Keraguan beragama bersangkutan dengan semangat agama. Keraguan beragama biasanya menimbulkan rasa dosa. Keraguan beragama biasanya dialami oleh para remaja walaupun juga tidak menutup kemungkinan terjadi pula pada masa dewasa. Adapun pada masa anak-anak bisa dipastikan tidak ada keraguan beragama dikarenakan pada masa anak-anak, kemampuan mereka dalm mengolah pikiran masih belum baik. Para remaja yang mengalami keraguan beragama ingin tetap dalam kepercayaannya, akan tetapi dilain pihak timbul pertanyaan-pertanyaan disekitar agama yang tidak terjawab oleh mereka. Biasanya setelah gelombang keraguan itu reda, timbullah semangat agama yang berlebihan baik dalam beribadah,maupun dalam mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan untuk memperkuat keyakinannya.[1]
Keraguan terhadap agama pada remaja tidaklah sama, berbeda antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kepribadiannya masing-masing. Ada yang mengalami keraguan ringan, yang dengan cepat dapat diatasi dan ada yang sangat berat sampai kepada berubah agama[2] (murtad dari agama). Dapat kita katakan, bahwa pada masa remaja akhir, keyakinan beragama lebih dikuasai pikiran, berbeda dengan pada permulaan ataupun remaja awal. Dimana pada masa remaja awal, perasaanlah yang lebih menguasai keyakinan mereka. Oleh karena pada masa remaja akhir, pikiranlah yang lebih menguasai maka sudah barang tentu banyak ajaran-ajaran agama yang kembali diteliti dan dikritik, terutama apabila pendidikan agama yang diterimanya sewaktu masih anak-anak lebih bersifat otoriter, paksaan orang tua, atau karena takut akan kehilangan kasih sayang orang tua.

2.2           Penyebab terjadinya keraguan beragama
Pada bagian diatas telah disinggung beberapa hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya keraguan beragama diantaranya adalah: pola pengajaran orang tua terhadap anak yang otoriter, memaksa dan lain sebagainya dimasa kecilnya. Yang pada akhirnya akan menimbulkan keraguan dalam beragama pada masa berikutnya tatkala mereka mendapatkan kenyataan yang berbeda dengan realitas ataupun dengan ilmu pengetahuan lain yang membutuhkan pemikiran. Tumbuhnya pemikiran yang rasional dalam diri seseorang adalah faktor utama penyebab terjadinya keraguan dalam beragama.
Disini kami akan menuliskan beberapa  yang menjadikan akar penyebab dari keraguan dalam beragama yang berhubungan dengan pola pemikiran, diantaranya adalah;
1.        Naturalis[3]
Naturalis  ini berasal dari sebuah pertanyaan para ilmuan yang mempertanyakan hubungan antara ilmu yang ilmiah dan agama yang terkesan lebih intuitif. Ilmu menekankan pembahasannya pada alam fisik, sedangkan agama lebih kepada alam metafisik/spiritual yang kadang diantara keduanya tidak dapat saling menopang bahkan justru kadang saling berlainan dalam penjabarannya. Dari hal tersebut (perbedaan antara ilmiah dan intuitif), membuat alam pemikiran seseorang terkadang menjadi terombang-ambing (terutama pada masa awal berkembangnya pemikiran dan logika/para remaja) yang mengakibatkan muncul keraguan atas keyakinan beragama mereka.
2.        Humanis dan Eksistensialis[4]
Humanis merupakan penegasan akan makna ukuran dari segala sesuatu adalah manusia. Humanis dapat diartikan pula kebebasan manusia. Pemikiran tentang kebebasan manusia, yang menyatakan bahwasanya manusia bebas untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Adapun tingkat yang lebih membebaskan diri dari segala sesuatu bahkan terbebas dari peranan Tuhan kemudian disebut eksistensialis. Eksistensialis menghilangkan peranan Tuhan dan mengutamakan kemajuan dan perbaikan diri secara individu. Sehingga peranan agama yang bersumber pada keTuhanan diabaikan. Dalam literatur yang lain individu yang mementingkan kemajuan ataupun perbaikan secara individu untuk melakukan perubahan pada dirinya sesuia dengan usaha yang dimiliki terdapat dalam pemikiran behavioristik.[5]
3.        Problem kejahatan[6]
Problem kejahatan ini merupakan  buah dari  pemikiran saat seseorang melihat realitas yang ada disekitarnya. Tentang kejahatan yang timbul dan menjamur disekeliling ia tinggal. Timbulnya pemikiran tentang “Tuhan sebagai sumber kebaikan”. Ketika terjadi banyak kejahatan, sering muncul pertanyaan “Tuhan sebagai sumber kebaikan atau kejahatan” atau jika Tuhan sebagai sumber kebaikan mengapa Tuhan membiarkan kejahatan berlangsung sedemikian rupa.
“jika Tuhan Maha Baik, tentu Dia akan membasmi kejahatan. Jika Tuhan Maha Kuasa, tentu Dia menghancurkan kejahatan. Tetapi nyatanya kejahatan belum terhapus.”[7] Pemikiran-pemikiran yang muncul seperti itulah kurang lebihnya yang dapat membuat keraguan dalam beragama. Karena sumber dari ajaran agama adalah Tuhan.
4.        Pluralitas agama[8]
Realitas yang ada di mayapada ini adalah adanya beragam agama. Yang tumbuh dengan komunitasnya sendiri-sendiri dan mengklaim bahwa ajarannya tersebut adalah ajaran yang benar. Jika terdapat 10 agama saja, berarti ada 10 kebenaran yang diklaim. Sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan dalam pemikiran ini, manakah yang paling benar dari semua yang menyatakan benar tersebut.
Dari beberapa hal yang disebutkan diatas  tersebut yang dapat membuat keraguan dalam beragama dan kebanyakan dialami oleh para remaja. Dikarenakan pada masa ini pemikiran yang mengutamakan rasio dan ilmiah mulai berkembang dalam dunia pemikirannya. Kebebasan berpikir, berpendapat  kemudian diiringi dengan kebebasan bertindak ini yang menyebabkan kebimbangan dalam menjalankan ajaran agama yang lebih mengutamakan rasa.
Selain dari apa yang telah disebutkan diatas, keraguan beragama juga dapat disebabkan karena dorongan seksual yang belum ada kesempatan untuk menyalurkannya dan realitas masyarakat yang banyak melanggar norma-norma dari ajaran agama.

2.3           Masa Transisi / peralihan
Masa transisi / peralihan adalah masa yang dialami oleh para remaja. Adapun yang berkaitan dengan keraguan dalam beragama lebih banyak membicarakan pada masa remaja akhir sebagaimana telah disebutkan dalam bagian pengertian diatas.
Perkembangan jiwa agama pada remaja akhir ibarat grafik bukan semakin naik akan tetapi malah semakin menurun apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya.[9] Penurunan grafik ini disebabkan oleh pemikiran/rasionalisasi sebagaimana disebutkan dalam bagian penyebab diatas.
Keraguan jiwa beragama semakin memuncak ketika usia tertentu (biasanya usia 21 tahun : adolescence). Pada masa ini seseorang mengarah pada semakin tidak percaya sama sekali terhadap Tuhan maupun ajaran agama yang diyakininya sebelumnya.[10]
Sedangkan dari  penelitian yang dibuat oleh Dr. Al Malighy, terbukti bahwa sebelum umur 17 tahun, kebimbangan tidak terjadi. Puncak kebimbangan itu terjadi antara umur 17 tahun dan 20 tahun.[11]  Jika pada pada masa 17 tahun kebawah, remaja menyatakan kebimbangan/keraguan  ataupun ketidak-percayaan kepada Tuhan dan sifat-sifatNya maka pada waktu itu, bukanlah bimbang/ragu ataupun ingkar yang sungguh-sungguh akan tetapi lebih cenderung kepada protes terhadap Tuhan, yang telah menyebabkan dia dan orang-orang yang disayanginya menderita atau kehilangan rasa aman.
Karakteristik umum perkembangan jiwa agama remaja akhir, menurut apa yang dikemukakan oleh Dr.Al Malighy[12] ,antara lain:
1.        Percaya tetapi penuh keraguan dan bimbang.
2.        Keyakinan  beragama lebih dikuasai pikiran ketimbang dikuasai emosional.
3.        Dengan demikia mereka dapat mengkritik, menerima, atau menolak ajaran agama yang diterima waktu kecil.
Pada masa peralihan ini, remaja akhir dapat ditandai dengan:
1.        Mengingkari wujud Tuhan dan ingin mencari kepercayaan lain, tetapi hati kecilnya  masih percaya.
2.        Bila uisa sebelumnya tidak mendapatkan pendidikan agama maka remaja usia ini mengarah kepada atheis.
Remaja yang tidak lagi anak-anak dan yang sedang dalam proses menuju dewasa itulah yang kemudian disebut dengan remaja akhir. Bagian dimana remaja mengalami penurunan grafik keyakinan.

2.4                 Efek yang ditimbulkan keraguan dalam beragama.
Efek ataupun akibat yang dapat ditimbulkan dari keraguan dalam beragama yang dialami remaja akhir bermacam-macam, diantaranya adalah:
1.        Munculnya rasa dosa yang diakibatkan dari gelombang keraguan yang fluktuatif.
2.        Hilangnya kepercayaan terhadap KeTuhanan (Atheisme)
3.        Terjadinya perpindahan keyakinan/agama dari agama yang satu ke agama lain dan bukan tidak mungkin perpindahan ini tidak hanya sekali akan tetapi berkali-kali (murtad yang diulang-ulang), demi untuk menemukan kebenaran yang sesuai dengan rasio/logis dan sesuai dengan realias sekitar.
4.        Munculnya berbagai bentuk tindakan kriminal/kejahatan karena kebebasan mutlak yang ada pada diri manusia.
Ke-empat hal tersebut adalah efek/akibat yang lebih besifat negative yang terjadi pada seseorang.
Keraguan/kebimbangan dalam beragama bukan tidak mungkin dapat menimbulakn efek/akibat yang bersifat positif, diantaranya adalah:
1.        Kuatnya usaha untuk memperdalam ilmu pengetahuan guna memperkuat keyakinannya.
2.        Bertambahnya intensitas ritual ibadah yang terkadang justru cenderung berlebihan, terutama bagi mereka yang takut kehilangan keyakinannya.
3.        Peka dan kritisnya terhadap pendapat-pendapat yang menyingung soal agama, terlebih terhadap agamanya.
Efek/akibat yang dapat berupa efek negative ataupun positif ini memerlukan sentuhan dan penanganan dari orang-orang yang disekitar para remaja tersebut. Walaupun secara teori,, pada usia remaja keyakinan terhadap keagamaan mereka tidak perlu lagi memerlukan pendampingan sebagimana yang dilakukan pada masa anak-anak.

2.5                 Solusi yang dapat diberikan.
Perubahan jasmani yang begitu cepat pada remaja menimbulkn kecemasan pada dirinya, sehingga terjadi kegoncangan emosi, kecemasan dan kekhawatirkan. Hingga terjadilah perasaan yang goncang-tenang (sesuai dengan hokum rythme perkembangan), terkadang akan sangat tekun beribadah akan tetapi terkadang pula akan sangat malas untuk beribadah. Sebagai ujud rasa keagamaan yang ada dalam diri remaja tersebut. Kegoncangan dan ketenangan ini sebenarnya adalah cerminan dari keadaan dari keyakinannya yang labil, ada keraguan dalam merasakan nilai agama.
Untuk itu, perlu adanya tindakan untuk dapat mengurangi dari rasa kegelisahan tersebut. Adapun tindakan tersebut bisa dengan pembinaan-pembinaan pada agama remaja. Hendaknya seorang guru agama memahami keadaan remaja yang sedang mengalami kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang sangat cepat tersebut yang juga dibarengi keinginan, dorongan dan ketidakstabilan kepercayaan. Dengan pengertiam itu, seharusnya guru agama dapat memilih cara penyajian agama yang tepat bagi mereka, sehingga  kegoncangan perasaan dapat diatasi atau dikurangi.
Atau kita dapat memakai prinsip pendidikan moral yang ada didunia barat, “Pendekatan tidak langsung terhadap pendidikan moral yang paling banyak diterapkan adalah klarifikasi nilai dan pendidikan moral kognitif”[13]
Klarifikasi nilai adalah pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang fokusnya adalah membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari.[14]
Pendidikan moral (keagamaan) kognitif adalah pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang menekankan agar remaja mengambil nilai-nilai seperti demokrasi dan keadilan selama penalaran moral mereka terbentuk.[15]
Pendidikan moral (keagamaan) tidak langsung mendorong remaja untuk menentukan nilai mereka sendiri dan nilai orang lain serta membantumereka menentukan perspektif moral yang akan mendukung nilai-nilai tersebut. Yang pada akhirnya diharapakan dapat memberikan sentuhan nyata kepada remaja yang sedang mengalami keraguan dalam keyakinan beragama.
Yang sangat perlu diperhatikan dari seorang guru agama, selain memperhatikan dari dua pendekatan (klarifikasi dan pendidikan moral kognitif) guru agama juga harus tahu perkembangan kecerdasan remaja, yang telah mampu memahami yang abstrak dan mampu mengambil kesimpulan yang abstrak dari kenyataan yang dilihat ataupun didengarnya. Maka pendidikan agama tidak akan diterimanya begitu saja tanpa memahaminya.
Pendidikan agama akan berhasil serta berguna apabila guru agama mampu memahami perkembangan jiwa yang dilalui oleh para remaja, kemudian mampu menerapkan metode yang tepat dalam menyampaikan ajarannya.
BAB III
3.1                 Kesimpulan
Perkembangan jiwa beragama pada usia remaja mengalami fluktuasi yang beragam. Pada masa ini, remaja mengalami masa yang disebut dengan mas  peralihan. Peralihan pemikiran yang lebih kritis dan ilmiah. Dan masa peralihan ini, lebih banyak ditemui pada masa remaja akhir (17 tahun sampai 21 tahun: Adolescence).
Perkembangan pemikiran yang mulai kritis dan ilmiah disertai dengan dorongan yang lain, membuat remaja pada masa ini mengalami keraguan terhadap agama yang kemudian disebut dengan religious doubt.


DAFTAR PUSTAKA
John W.Santrock. Adolescence Edisi ke Enam Perkembangan Remaja. 2003. Jakarta: Erlangga.
Baharuddin & Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. 2008. Malang: UIN-Malang Press.
Zakiah Darajat. Ilmu Djiwa Agama. 1972. Djakarta: Bulan Bintang
Amsal Bakhtiar. Filsafat Agama wisata Pemikiran dan kepercayaan Manusia. 2007. Jakarta: Rajagrafindo Persada.



[1] Zakiah Darajat. Ilmu Djiwa Agama. 1972. Djakarta: Bulan Bintang
[2] Ibid.
[3] Amsal Bakhtiar. Filsafat Agama wisata Pemikiran dan kepercayaan Manusia. 2007. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
[4] ibid
[5] Baharuddin & Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. 2008. Malang: UIN-Malang Press.
[6] Amsal Bakhtiar. Filsafat Agama wisata Pemikiran dan kepercayaan Manusia. 2007. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Baharuddin & Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. 2008. Malang: UIN-Malang Press.

[10] ibid
[11] Zakiah Darajat. Ilmu Djiwa Agama. 1972. Djakarta: Bulan Bintang
[12] Baharuddin & Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. 2008. Malang: UIN-Malang Press.

[13] John W.Santrock. Adolescence Edisi ke Enam Perkembangan Remaja. 2003. Jakarta: Erlangga.
[14] Ibid.
[15] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 12 Januari 2012

Religious doubt


                                                                                   BAB I
1.1.1            Pendahuluan
Perkembangan pada usia remaja mengalami banyak gejolak yang pada akhirnya menggoncangkan jiwa dan keyakinannya. Pertumbuhan secara fisik yang begitu menonjol ternyata diikuti oleh perkembangan pemikiran yang membuat dalam banyak hal remaja mengalami peningkatan cukup signifikan. Akan tetapi ada pula yang mengalami penurunan grafik yang terjadi pada diri mereka, salah satunya adalah rasa keber-agamaannya.
Penurunan rasa terhadap keyakinan yang terjadi inilah yang kemudian menjadikan adanya keragu-raguan terhadap ajaran agama. Tentunya juga karena di pengaruhi pula oleh pemikiran pada usia remaja yang meningkat secara signifikan dibandingkan pada saat masih anak-anak.
Pemikiran-pemikiran kritis dan ilmiah yang tumbuh pada otak remaja, membuat remaja berusaha untuk mencari kebebasan. Kebebasan berpikir, kebebasan memilih, kebebasan berkeyakinan, dan juga kebebasan-kebebasan yang lain. Inti dari pencarian kebebasan ini adalah untuk mencari jati diri dan usaha untuk menunjukkan siapakah dirinya di depan orang lain.

Yang amat disayangkan adalah metode pengajaran rasa keagamaan pada saat masih anak-anak (dikeluarga ataupun sekolah) yang berkembang saat ini masih terkesan mengabaikan pemikiran masa remaja ini, sehingga keyakinan terhadap rasa beragama pada usia remaja sering dikritisi oleh mereka. Yang pada akhirnya menimbulkan keraguan beragama pada diri mereka.
Banyak yang mengaku beragama, akan tetapi pangakuan tersebut tidak pernah dilaksanakan dengan menjalankan ajaran agama yang diakunya tersebut. Padahal jika dilperhatikan mereka yang tidak melaksanakan ajaran agama tersebut, pada masa anak-anaknya, mereka adalah anak yang rajin ke gereja ataupun masjid ataupun tempat-tempat ibadah yan lain. Ini disebabkan karena adanya keraguan beragama pada diri remaja.

BAB II
2.1           Pengertian
Keraguan beragama bersangkutan dengan semangat agama. Keraguan beragama biasanya menimbulkan rasa dosa. Keraguan beragama biasanya dialami oleh para remaja walaupun juga tidak menutup kemungkinan terjadi pula pada masa dewasa. Adapun pada masa anak-anak bisa dipastikan tidak ada keraguan beragama dikarenakan pada masa anak-anak, kemampuan mereka dalm mengolah pikiran masih belum baik. Para remaja yang mengalami keraguan beragama ingin tetap dalam kepercayaannya, akan tetapi dilain pihak timbul pertanyaan-pertanyaan disekitar agama yang tidak terjawab oleh mereka. Biasanya setelah gelombang keraguan itu reda, timbullah semangat agama yang berlebihan baik dalam beribadah,maupun dalam mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan untuk memperkuat keyakinannya.[1]
Keraguan terhadap agama pada remaja tidaklah sama, berbeda antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kepribadiannya masing-masing. Ada yang mengalami keraguan ringan, yang dengan cepat dapat diatasi dan ada yang sangat berat sampai kepada berubah agama[2] (murtad dari agama). Dapat kita katakan, bahwa pada masa remaja akhir, keyakinan beragama lebih dikuasai pikiran, berbeda dengan pada permulaan ataupun remaja awal. Dimana pada masa remaja awal, perasaanlah yang lebih menguasai keyakinan mereka. Oleh karena pada masa remaja akhir, pikiranlah yang lebih menguasai maka sudah barang tentu banyak ajaran-ajaran agama yang kembali diteliti dan dikritik, terutama apabila pendidikan agama yang diterimanya sewaktu masih anak-anak lebih bersifat otoriter, paksaan orang tua, atau karena takut akan kehilangan kasih sayang orang tua.

2.2           Penyebab terjadinya keraguan beragama
Pada bagian diatas telah disinggung beberapa hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya keraguan beragama diantaranya adalah: pola pengajaran orang tua terhadap anak yang otoriter, memaksa dan lain sebagainya dimasa kecilnya. Yang pada akhirnya akan menimbulkan keraguan dalam beragama pada masa berikutnya tatkala mereka mendapatkan kenyataan yang berbeda dengan realitas ataupun dengan ilmu pengetahuan lain yang membutuhkan pemikiran. Tumbuhnya pemikiran yang rasional dalam diri seseorang adalah faktor utama penyebab terjadinya keraguan dalam beragama.
Disini kami akan menuliskan beberapa  yang menjadikan akar penyebab dari keraguan dalam beragama yang berhubungan dengan pola pemikiran, diantaranya adalah;
1.        Naturalis[3]
Naturalis  ini berasal dari sebuah pertanyaan para ilmuan yang mempertanyakan hubungan antara ilmu yang ilmiah dan agama yang terkesan lebih intuitif. Ilmu menekankan pembahasannya pada alam fisik, sedangkan agama lebih kepada alam metafisik/spiritual yang kadang diantara keduanya tidak dapat saling menopang bahkan justru kadang saling berlainan dalam penjabarannya. Dari hal tersebut (perbedaan antara ilmiah dan intuitif), membuat alam pemikiran seseorang terkadang menjadi terombang-ambing (terutama pada masa awal berkembangnya pemikiran dan logika/para remaja) yang mengakibatkan muncul keraguan atas keyakinan beragama mereka.
2.        Humanis dan Eksistensialis[4]
Humanis merupakan penegasan akan makna ukuran dari segala sesuatu adalah manusia. Humanis dapat diartikan pula kebebasan manusia. Pemikiran tentang kebebasan manusia, yang menyatakan bahwasanya manusia bebas untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Adapun tingkat yang lebih membebaskan diri dari segala sesuatu bahkan terbebas dari peranan Tuhan kemudian disebut eksistensialis. Eksistensialis menghilangkan peranan Tuhan dan mengutamakan kemajuan dan perbaikan diri secara individu. Sehingga peranan agama yang bersumber pada keTuhanan diabaikan. Dalam literatur yang lain individu yang mementingkan kemajuan ataupun perbaikan secara individu untuk melakukan perubahan pada dirinya sesuia dengan usaha yang dimiliki terdapat dalam pemikiran behavioristik.[5]
3.        Problem kejahatan[6]
Problem kejahatan ini merupakan  buah dari  pemikiran saat seseorang melihat realitas yang ada disekitarnya. Tentang kejahatan yang timbul dan menjamur disekeliling ia tinggal. Timbulnya pemikiran tentang “Tuhan sebagai sumber kebaikan”. Ketika terjadi banyak kejahatan, sering muncul pertanyaan “Tuhan sebagai sumber kebaikan atau kejahatan” atau jika Tuhan sebagai sumber kebaikan mengapa Tuhan membiarkan kejahatan berlangsung sedemikian rupa.
“jika Tuhan Maha Baik, tentu Dia akan membasmi kejahatan. Jika Tuhan Maha Kuasa, tentu Dia menghancurkan kejahatan. Tetapi nyatanya kejahatan belum terhapus.”[7] Pemikiran-pemikiran yang muncul seperti itulah kurang lebihnya yang dapat membuat keraguan dalam beragama. Karena sumber dari ajaran agama adalah Tuhan.
4.        Pluralitas agama[8]
Realitas yang ada di mayapada ini adalah adanya beragam agama. Yang tumbuh dengan komunitasnya sendiri-sendiri dan mengklaim bahwa ajarannya tersebut adalah ajaran yang benar. Jika terdapat 10 agama saja, berarti ada 10 kebenaran yang diklaim. Sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan dalam pemikiran ini, manakah yang paling benar dari semua yang menyatakan benar tersebut.
Dari beberapa hal yang disebutkan diatas  tersebut yang dapat membuat keraguan dalam beragama dan kebanyakan dialami oleh para remaja. Dikarenakan pada masa ini pemikiran yang mengutamakan rasio dan ilmiah mulai berkembang dalam dunia pemikirannya. Kebebasan berpikir, berpendapat  kemudian diiringi dengan kebebasan bertindak ini yang menyebabkan kebimbangan dalam menjalankan ajaran agama yang lebih mengutamakan rasa.
Selain dari apa yang telah disebutkan diatas, keraguan beragama juga dapat disebabkan karena dorongan seksual yang belum ada kesempatan untuk menyalurkannya dan realitas masyarakat yang banyak melanggar norma-norma dari ajaran agama.

2.3           Masa Transisi / peralihan
Masa transisi / peralihan adalah masa yang dialami oleh para remaja. Adapun yang berkaitan dengan keraguan dalam beragama lebih banyak membicarakan pada masa remaja akhir sebagaimana telah disebutkan dalam bagian pengertian diatas.
Perkembangan jiwa agama pada remaja akhir ibarat grafik bukan semakin naik akan tetapi malah semakin menurun apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya.[9] Penurunan grafik ini disebabkan oleh pemikiran/rasionalisasi sebagaimana disebutkan dalam bagian penyebab diatas.
Keraguan jiwa beragama semakin memuncak ketika usia tertentu (biasanya usia 21 tahun : adolescence). Pada masa ini seseorang mengarah pada semakin tidak percaya sama sekali terhadap Tuhan maupun ajaran agama yang diyakininya sebelumnya.[10]
Sedangkan dari  penelitian yang dibuat oleh Dr. Al Malighy, terbukti bahwa sebelum umur 17 tahun, kebimbangan tidak terjadi. Puncak kebimbangan itu terjadi antara umur 17 tahun dan 20 tahun.[11]  Jika pada pada masa 17 tahun kebawah, remaja menyatakan kebimbangan/keraguan  ataupun ketidak-percayaan kepada Tuhan dan sifat-sifatNya maka pada waktu itu, bukanlah bimbang/ragu ataupun ingkar yang sungguh-sungguh akan tetapi lebih cenderung kepada protes terhadap Tuhan, yang telah menyebabkan dia dan orang-orang yang disayanginya menderita atau kehilangan rasa aman.
Karakteristik umum perkembangan jiwa agama remaja akhir, menurut apa yang dikemukakan oleh Dr.Al Malighy[12] ,antara lain:
1.        Percaya tetapi penuh keraguan dan bimbang.
2.        Keyakinan  beragama lebih dikuasai pikiran ketimbang dikuasai emosional.
3.        Dengan demikia mereka dapat mengkritik, menerima, atau menolak ajaran agama yang diterima waktu kecil.
Pada masa peralihan ini, remaja akhir dapat ditandai dengan:
1.        Mengingkari wujud Tuhan dan ingin mencari kepercayaan lain, tetapi hati kecilnya  masih percaya.
2.        Bila uisa sebelumnya tidak mendapatkan pendidikan agama maka remaja usia ini mengarah kepada atheis.
Remaja yang tidak lagi anak-anak dan yang sedang dalam proses menuju dewasa itulah yang kemudian disebut dengan remaja akhir. Bagian dimana remaja mengalami penurunan grafik keyakinan.

2.4                 Efek yang ditimbulkan keraguan dalam beragama.
Efek ataupun akibat yang dapat ditimbulkan dari keraguan dalam beragama yang dialami remaja akhir bermacam-macam, diantaranya adalah:
1.        Munculnya rasa dosa yang diakibatkan dari gelombang keraguan yang fluktuatif.
2.        Hilangnya kepercayaan terhadap KeTuhanan (Atheisme)
3.        Terjadinya perpindahan keyakinan/agama dari agama yang satu ke agama lain dan bukan tidak mungkin perpindahan ini tidak hanya sekali akan tetapi berkali-kali (murtad yang diulang-ulang), demi untuk menemukan kebenaran yang sesuai dengan rasio/logis dan sesuai dengan realias sekitar.
4.        Munculnya berbagai bentuk tindakan kriminal/kejahatan karena kebebasan mutlak yang ada pada diri manusia.
Ke-empat hal tersebut adalah efek/akibat yang lebih besifat negative yang terjadi pada seseorang.
Keraguan/kebimbangan dalam beragama bukan tidak mungkin dapat menimbulakn efek/akibat yang bersifat positif, diantaranya adalah:
1.        Kuatnya usaha untuk memperdalam ilmu pengetahuan guna memperkuat keyakinannya.
2.        Bertambahnya intensitas ritual ibadah yang terkadang justru cenderung berlebihan, terutama bagi mereka yang takut kehilangan keyakinannya.
3.        Peka dan kritisnya terhadap pendapat-pendapat yang menyingung soal agama, terlebih terhadap agamanya.
Efek/akibat yang dapat berupa efek negative ataupun positif ini memerlukan sentuhan dan penanganan dari orang-orang yang disekitar para remaja tersebut. Walaupun secara teori,, pada usia remaja keyakinan terhadap keagamaan mereka tidak perlu lagi memerlukan pendampingan sebagimana yang dilakukan pada masa anak-anak.

2.5                 Solusi yang dapat diberikan.
Perubahan jasmani yang begitu cepat pada remaja menimbulkn kecemasan pada dirinya, sehingga terjadi kegoncangan emosi, kecemasan dan kekhawatirkan. Hingga terjadilah perasaan yang goncang-tenang (sesuai dengan hokum rythme perkembangan), terkadang akan sangat tekun beribadah akan tetapi terkadang pula akan sangat malas untuk beribadah. Sebagai ujud rasa keagamaan yang ada dalam diri remaja tersebut. Kegoncangan dan ketenangan ini sebenarnya adalah cerminan dari keadaan dari keyakinannya yang labil, ada keraguan dalam merasakan nilai agama.
Untuk itu, perlu adanya tindakan untuk dapat mengurangi dari rasa kegelisahan tersebut. Adapun tindakan tersebut bisa dengan pembinaan-pembinaan pada agama remaja. Hendaknya seorang guru agama memahami keadaan remaja yang sedang mengalami kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang sangat cepat tersebut yang juga dibarengi keinginan, dorongan dan ketidakstabilan kepercayaan. Dengan pengertiam itu, seharusnya guru agama dapat memilih cara penyajian agama yang tepat bagi mereka, sehingga  kegoncangan perasaan dapat diatasi atau dikurangi.
Atau kita dapat memakai prinsip pendidikan moral yang ada didunia barat, “Pendekatan tidak langsung terhadap pendidikan moral yang paling banyak diterapkan adalah klarifikasi nilai dan pendidikan moral kognitif”[13]
Klarifikasi nilai adalah pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang fokusnya adalah membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari.[14]
Pendidikan moral (keagamaan) kognitif adalah pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang menekankan agar remaja mengambil nilai-nilai seperti demokrasi dan keadilan selama penalaran moral mereka terbentuk.[15]
Pendidikan moral (keagamaan) tidak langsung mendorong remaja untuk menentukan nilai mereka sendiri dan nilai orang lain serta membantumereka menentukan perspektif moral yang akan mendukung nilai-nilai tersebut. Yang pada akhirnya diharapakan dapat memberikan sentuhan nyata kepada remaja yang sedang mengalami keraguan dalam keyakinan beragama.
Yang sangat perlu diperhatikan dari seorang guru agama, selain memperhatikan dari dua pendekatan (klarifikasi dan pendidikan moral kognitif) guru agama juga harus tahu perkembangan kecerdasan remaja, yang telah mampu memahami yang abstrak dan mampu mengambil kesimpulan yang abstrak dari kenyataan yang dilihat ataupun didengarnya. Maka pendidikan agama tidak akan diterimanya begitu saja tanpa memahaminya.
Pendidikan agama akan berhasil serta berguna apabila guru agama mampu memahami perkembangan jiwa yang dilalui oleh para remaja, kemudian mampu menerapkan metode yang tepat dalam menyampaikan ajarannya.
BAB III
3.1                 Kesimpulan
Perkembangan jiwa beragama pada usia remaja mengalami fluktuasi yang beragam. Pada masa ini, remaja mengalami masa yang disebut dengan mas  peralihan. Peralihan pemikiran yang lebih kritis dan ilmiah. Dan masa peralihan ini, lebih banyak ditemui pada masa remaja akhir (17 tahun sampai 21 tahun: Adolescence).
Perkembangan pemikiran yang mulai kritis dan ilmiah disertai dengan dorongan yang lain, membuat remaja pada masa ini mengalami keraguan terhadap agama yang kemudian disebut dengan religious doubt.


DAFTAR PUSTAKA
John W.Santrock. Adolescence Edisi ke Enam Perkembangan Remaja. 2003. Jakarta: Erlangga.
Baharuddin & Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. 2008. Malang: UIN-Malang Press.
Zakiah Darajat. Ilmu Djiwa Agama. 1972. Djakarta: Bulan Bintang
Amsal Bakhtiar. Filsafat Agama wisata Pemikiran dan kepercayaan Manusia. 2007. Jakarta: Rajagrafindo Persada.



[1] Zakiah Darajat. Ilmu Djiwa Agama. 1972. Djakarta: Bulan Bintang
[2] Ibid.
[3] Amsal Bakhtiar. Filsafat Agama wisata Pemikiran dan kepercayaan Manusia. 2007. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
[4] ibid
[5] Baharuddin & Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. 2008. Malang: UIN-Malang Press.
[6] Amsal Bakhtiar. Filsafat Agama wisata Pemikiran dan kepercayaan Manusia. 2007. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Baharuddin & Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. 2008. Malang: UIN-Malang Press.

[10] ibid
[11] Zakiah Darajat. Ilmu Djiwa Agama. 1972. Djakarta: Bulan Bintang
[12] Baharuddin & Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. 2008. Malang: UIN-Malang Press.

[13] John W.Santrock. Adolescence Edisi ke Enam Perkembangan Remaja. 2003. Jakarta: Erlangga.
[14] Ibid.
[15] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar