Pengikut

Kamis, 05 April 2012

Paradigma Islam

Disusun oleh: Vita Nur Hidayati     (09410017)

Identitas Buku:
Judul Buku      : Paradigma Islam
Pengarang       : Dr. Kuntowijoyo
Penerbit           : Tiara Wacana
Kota Terbit      : Yogyakarta
Tahun              : 1994
Isi garis Besar Buku:
Pada bagian pertama meliputi:
Di Asia Tenggara, mayoritas kaum Muslim terus kehilangan banyak peluang-sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang ditawarkan oleh perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat-masyarakat mereka. “Ketertinggalan” ini rupanya harus ditelusuri ke sejarah resistensi kaum Muslim terhadap penetrasi kolonial di masa lalu. Corak “resistensi”, “akomodasi” dan “modifikasi” terhadapan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga Barat yang terus berkembang.

Ada beberapa persamaan yang terdapat  dalam kehidupan agama di Asia Tenggara. Salah satu persamaan dalam keyakinan Islam di Asia Tenggara adalah dominannya mazhab Syafi’I di bidang fiqh (hukum keagamaan). Persamaan lain dari Islam di Asia Tenggara adalah perselisihan internal antara apa yang disebut “tradisi kecil” dan “tradisi besar”, walaupun dengan derajat intensitas yang berbeda-beda. Di Indonesia, ketegangan antara abangan dan santri, hal tersebut pernah terjadi akibat perbedaan-perbedaan kultural.
Salah satu negara di Asia Tenggara, yaitu di Indonesia, terdapat suatu istilah wong cilik. Istilah Jawa wong cilik mengandung pengertian golongan (kelas) dan kedudukan (status) orang biasa.[1] Petani dan pedagang digolongkan sebagai wong cilik (secara harfiah berarti orang kecil), untuk menunjukkan kedudukan di bawah wong agung (orang gedean), terdiri dari golongan bangsawan dan pangreh praja pada umumnya.
Masyarakat Arab yang sudah ada di Indonesia, dan sejak semula merupakan masyarakat golongan menengah, sedikit banyaknya membawakan suatu ikatan tertentu antara kaum santri golongan menengah ini dengan masyarakat Arab tersebut. Secara individu, banyak orang Arab yang memasuki gerakan keagamaan golongan menengah kaum santri seperti Sarekat Islam.
Pada bagian kedua meliputi:
Berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan lain, Islam datang dan masuk ke Indonesia dengan cara yang elastis dan fleksibel. Masjid-masjid yang didirikan pertama di Indonesia bentuknya menyerupai arsitektur lokal, warisan Hindu. Hal ini berbeda dengan Kristen yang membangun Gereja dengan arsitektur asing (barat). Kasus tersebut memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha dan Hindu masuk dengan membawa stupa, sedangkan Islam tidak memindahkan dan membawa simbol budaya dari Timur Tengah. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Jelas sudah bahwa Islam datang dengan tidak antibudaya.
Secara akademik, kita mengenal dua macam pendekatan untuk melihat fenomena kebudayaan. Pendekatan pertama, melihat kebudayaan dari luar ke dalam. Artinya, melihat dari pengaruh ekologi lingkungan fisik terhadap cara masyarakat mengorganisasikan dirinya. Misalnya, bagaimana lingkungan daerah pantai mempengaruhi hubungan-hubungan sosial masyarakatnya. Sementara itu, pendekatan kedua melihat kebudayaan dari dalam ke luar. Artinya bagaimana sistem nilai mempengaruhi pembentukan sistem simbol dan bagaimanan sistem simbol itu pada akhirnya mempengaruhi sistem-sistem sosio-kultural.
Indonesia pernah mengalami apa yang disebut dengan dualism kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer. Dua jenis kebudayaan tersebut sering dikategorikan sebagai kebudayaan tradisional. Untuk konteks budaya kraton, kebudayaan dikembangkan oleh abdi-dalem atau pegawai istana. Raja bertugas menciptakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya.
Pada bagian ketiga meliputi:
Konsep normatif agama mengenai budaya tidak saja mencoba memahami, melukiskannya, dan mengakui keunikan-keunikannya, tetapi agama mempunyai konsep tentang ‘amr (perintah), dan tanggung jawab. Sementara itu ilmu menjadikan budaya sebagai sasaran pemahaman, agama memandang budaya sebagai sasaran pembinaan. Dalam ilmu dan agama, kiranya konsep mengenai arah-tujuan kehidupan manusia menempati posisi sentral dalam mempertimbangkan budaya.
Semua peradaban dan semua agama mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain sepanjang sejarah. Oleh karena itu, hampir tidak mungkin kita bersikap eksklusif. Sikap seperti itu adalah sikap yang a-historis, dan tidak realistis.
Dalam bidang ilmu dan teknologi, kita tidak boleh bersikap tertutup. Sekalipun kita yakin bahwa Islam bukan Timur dan bukan Barat. Bagaimanapun Islam adalah sebuah paradigma yang terbuka. Islam merupakan mata-rantai peradaban dunia. Dalam sejarah, kita melihat Islam mewarisi peradaban Yunani-Romawi di Barat, dan peradaban-peradaban Persia, India, dan Cina di Timur.
Ada banyak contoh yang dapat dijadikan sebagai bukti tentang peranan Islam sebagai mata-rantai peradaban dunia. Islam misalnya mengembangkan matematika India, ilmu kedokteran dari Cina, sistem pemerintahan Sasanid (Persia), logika Yunan dsb.
Kelebihan:
Buku ini begitu lengkap dalam menjelaskan paradigma Islam. Disamping penjabarannya yang begitu baik, dilengkapi juga contoh-contohnya. Buku ini memeberikan cocok sebagai bahan referensi bagi mahasiswa dan dosen serta baik juga untuk umum. Buku ini ada 3 bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Dimana setiap sub bab terkait dengan sub bab yang lain. 
Kekurangan:
Buku ini kurang efektif dan efisien, karena terlalu banyak sub babnya, sehingga kelihatan banyak tulisan dan membosankan. Bahasanya kuarang begitu bisa dipahami.


[1] Untuk keterangan tentang perbedaan antara kedudukan dan kelas, harap merujuk kepada Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization. (The Free Press, New York, 1964).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 05 April 2012

Paradigma Islam

Disusun oleh: Vita Nur Hidayati     (09410017)

Identitas Buku:
Judul Buku      : Paradigma Islam
Pengarang       : Dr. Kuntowijoyo
Penerbit           : Tiara Wacana
Kota Terbit      : Yogyakarta
Tahun              : 1994
Isi garis Besar Buku:
Pada bagian pertama meliputi:
Di Asia Tenggara, mayoritas kaum Muslim terus kehilangan banyak peluang-sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang ditawarkan oleh perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat-masyarakat mereka. “Ketertinggalan” ini rupanya harus ditelusuri ke sejarah resistensi kaum Muslim terhadap penetrasi kolonial di masa lalu. Corak “resistensi”, “akomodasi” dan “modifikasi” terhadapan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga Barat yang terus berkembang.

Ada beberapa persamaan yang terdapat  dalam kehidupan agama di Asia Tenggara. Salah satu persamaan dalam keyakinan Islam di Asia Tenggara adalah dominannya mazhab Syafi’I di bidang fiqh (hukum keagamaan). Persamaan lain dari Islam di Asia Tenggara adalah perselisihan internal antara apa yang disebut “tradisi kecil” dan “tradisi besar”, walaupun dengan derajat intensitas yang berbeda-beda. Di Indonesia, ketegangan antara abangan dan santri, hal tersebut pernah terjadi akibat perbedaan-perbedaan kultural.
Salah satu negara di Asia Tenggara, yaitu di Indonesia, terdapat suatu istilah wong cilik. Istilah Jawa wong cilik mengandung pengertian golongan (kelas) dan kedudukan (status) orang biasa.[1] Petani dan pedagang digolongkan sebagai wong cilik (secara harfiah berarti orang kecil), untuk menunjukkan kedudukan di bawah wong agung (orang gedean), terdiri dari golongan bangsawan dan pangreh praja pada umumnya.
Masyarakat Arab yang sudah ada di Indonesia, dan sejak semula merupakan masyarakat golongan menengah, sedikit banyaknya membawakan suatu ikatan tertentu antara kaum santri golongan menengah ini dengan masyarakat Arab tersebut. Secara individu, banyak orang Arab yang memasuki gerakan keagamaan golongan menengah kaum santri seperti Sarekat Islam.
Pada bagian kedua meliputi:
Berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan lain, Islam datang dan masuk ke Indonesia dengan cara yang elastis dan fleksibel. Masjid-masjid yang didirikan pertama di Indonesia bentuknya menyerupai arsitektur lokal, warisan Hindu. Hal ini berbeda dengan Kristen yang membangun Gereja dengan arsitektur asing (barat). Kasus tersebut memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha dan Hindu masuk dengan membawa stupa, sedangkan Islam tidak memindahkan dan membawa simbol budaya dari Timur Tengah. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Jelas sudah bahwa Islam datang dengan tidak antibudaya.
Secara akademik, kita mengenal dua macam pendekatan untuk melihat fenomena kebudayaan. Pendekatan pertama, melihat kebudayaan dari luar ke dalam. Artinya, melihat dari pengaruh ekologi lingkungan fisik terhadap cara masyarakat mengorganisasikan dirinya. Misalnya, bagaimana lingkungan daerah pantai mempengaruhi hubungan-hubungan sosial masyarakatnya. Sementara itu, pendekatan kedua melihat kebudayaan dari dalam ke luar. Artinya bagaimana sistem nilai mempengaruhi pembentukan sistem simbol dan bagaimanan sistem simbol itu pada akhirnya mempengaruhi sistem-sistem sosio-kultural.
Indonesia pernah mengalami apa yang disebut dengan dualism kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer. Dua jenis kebudayaan tersebut sering dikategorikan sebagai kebudayaan tradisional. Untuk konteks budaya kraton, kebudayaan dikembangkan oleh abdi-dalem atau pegawai istana. Raja bertugas menciptakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya.
Pada bagian ketiga meliputi:
Konsep normatif agama mengenai budaya tidak saja mencoba memahami, melukiskannya, dan mengakui keunikan-keunikannya, tetapi agama mempunyai konsep tentang ‘amr (perintah), dan tanggung jawab. Sementara itu ilmu menjadikan budaya sebagai sasaran pemahaman, agama memandang budaya sebagai sasaran pembinaan. Dalam ilmu dan agama, kiranya konsep mengenai arah-tujuan kehidupan manusia menempati posisi sentral dalam mempertimbangkan budaya.
Semua peradaban dan semua agama mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain sepanjang sejarah. Oleh karena itu, hampir tidak mungkin kita bersikap eksklusif. Sikap seperti itu adalah sikap yang a-historis, dan tidak realistis.
Dalam bidang ilmu dan teknologi, kita tidak boleh bersikap tertutup. Sekalipun kita yakin bahwa Islam bukan Timur dan bukan Barat. Bagaimanapun Islam adalah sebuah paradigma yang terbuka. Islam merupakan mata-rantai peradaban dunia. Dalam sejarah, kita melihat Islam mewarisi peradaban Yunani-Romawi di Barat, dan peradaban-peradaban Persia, India, dan Cina di Timur.
Ada banyak contoh yang dapat dijadikan sebagai bukti tentang peranan Islam sebagai mata-rantai peradaban dunia. Islam misalnya mengembangkan matematika India, ilmu kedokteran dari Cina, sistem pemerintahan Sasanid (Persia), logika Yunan dsb.
Kelebihan:
Buku ini begitu lengkap dalam menjelaskan paradigma Islam. Disamping penjabarannya yang begitu baik, dilengkapi juga contoh-contohnya. Buku ini memeberikan cocok sebagai bahan referensi bagi mahasiswa dan dosen serta baik juga untuk umum. Buku ini ada 3 bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Dimana setiap sub bab terkait dengan sub bab yang lain. 
Kekurangan:
Buku ini kurang efektif dan efisien, karena terlalu banyak sub babnya, sehingga kelihatan banyak tulisan dan membosankan. Bahasanya kuarang begitu bisa dipahami.


[1] Untuk keterangan tentang perbedaan antara kedudukan dan kelas, harap merujuk kepada Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization. (The Free Press, New York, 1964).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar