Pengikut

Tauhid

Aliran Teologi Islam (MU'TAZILAH)
BAB I
PENDAHULUAN
            Dalam khasanah kekayaan islam terdapat banyak sekali kekayaan-kekayaan yang beraneka ragam. Dari kekayaan kebudayaan yang setiap tempat dan setiap masa berubah sampai kepada corak dan pola pikir yang dimiliki umat islam yang setiap saat berubah mengikuti alur kemajuan pada zamannya sendiri-sendiri. Banyak sekali perbedaan pendapat yang terjadi pada diri tiap pribadi muslim ataupun kelompok muslim yang tentunya setiap individu ataupun kelompok tersebut mengklaim bahwa  merekalah yang paling benar menurut pendapatnya.
Perbedaan tersebut seolah semakin menambah khasanah kekayaan yang tiada ternilai bagi perkembangan umat islam. Dari waktu ke waktu, perbedaan tersebut akhirnya dapat dijadikan bahan ajar bagi umat islam di seluruh belahan dunia yang ingin mengenal ajaran islam secara universal dengan perbagai pendekatannya. Contohnya adalah perkembangan-perkembangan kebudayaan maupun pemikiran yang terjadi pada masa bani abbasiah yang didalamnya terdapat pemikiran-pemikiran dari kaum Mu`tazillah yang pada makalah ini akan kami angkat sebagai bahan pembahasan tentang aliran rasional dalam islam.
Aliran rasional dalam islam sebenarnya bukan hanya terjadi pada kaum mu`tazillah saja, akan tetapi kami memfokuskan diri pada hal tersebut untuk lebih memudahkan dalam pengkajian dan pembahasan. Karena pada dasarnya kaum mu`tazillah adalah pelopor awal terjadinya pemikiran rasional (yang lebih mengutamakan akal) dalam khasanah kekayaan perbedaan dalam islam.
Didalam makalah ini kami akan membahas tentang: Sejarah kaum Mu`tazillah terutama pada awal-awalnya, Methode pemikiran kaum Mu`tazillah, kemudian Beberapa tokoh dalam kaum Mu`tazillah, dilanjutkan dengan Lima prinsip kaum Mu`tazillah, dan yang terakhir adalah Masa kemunduran kaum Mu`tazillah serta Penutup/kesimpulan.
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari masih banyak sekali kekurangannya, untuk itu saran dan kritik dari semua pihak yang sifatnya membangun selalu kami nantikan.
BAB II
PEMBAHASAN

Orang-orang Mu’tazilah adalah pendiri yang sebenarnya bagi ilmu kalam (teologi Islam). Mereka membahas secara filosofis hal-hal yang tadinya belum diketahui melalui metode filsafat. Mereka memberikan pemecahan atas problematika-problematika pelik semisal teori kammun, tafrah, dan tawallud, dengan menampilkan pemecahan-pemecahan baru. Seperti studi tentang akidah. Sampai pada dasawarsa kelima dari abad ini, di hadapan kita hanya ada dua karya Mu’tazilah generasi pertama tentang akidah. Pertama, Durrah al-Tanzil wa Garrah al-Ta’wail karya al-Iskafi (855 M). Kedua, al-Intisar karya al-Khayyat (318 H=910 M).[1]
A      Sejarah Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasiah (100 H-237 M) dan fase Bani Buwaihi (334 H-447 M). Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan Bani Umayah dalam waktu yang tidak begitu lama. Kemudian memenuhi zaman awal Daulah Abbasiah, dimulai di Basrah yang kemudian berdiri cabang sampai ke Baghdad.
Mu’tazilah sekitar satu abad (237 H-334 M) mengalami kemunduran. Karena tidak dapat memanfaatkan yang dilakukan al-Jahiz (255 H=869 M) maupun al-Khayyat. Antara abad 3-4 H Abu’Ali al-Jubba’I (303 H=933 M) hendak membangkitkan kembali Mu’tazilah, tetapi gagal karena serangan al-Asy’ari dan akhirnya bergabung dengan Syi’ah dan Rafidah.
Pada awalnya Mu’tazilah mengutamakan sikap netral dalam pendapat dan tindakan. Mu’tazilah tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika imamah sebagai sumber perpecahan pertama tetapi mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori al-Manzilah bin al-Mazilatain (tempat di antara dua tempat). Akan tetapi di bawah tekanan kaum Asy’ariah dan Ahl al-Sunnah nampaknya mereka terpaksa berlindung kepada Bani Buwaihi. Sekali lagi mereka harus memanfaatkan kondisi politik, yang kemudian membantu menyebarkan madzhab mereka di Persia, Bahrain, dan Yaman terutama atas prakarsa Sahib bin Ibbad (995 M=385 H) seorang menteri dari Bani Buwaihi berusaha menancapkan pandangan Mu’tazilah dengan cara memberi kepuasan kadang dengan cara menghasut. Begitu Daulah Bani Buwaihi runtuh dan digantikan oleh pemerintahan Turki Usmani, segera gerakan Mu’tazilah menjadi lemah. Pengaruh mereka tinggal terbatas pada barisan-barisan Syi’ah Zaidiah.[2]

B       Metode Mu’tazilah
Ciri khas dari Mu’tazilah ialah meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini digunakan untuk menghukum berbagai hal. Mereka berpendapat bahwa alam memiliki hukum kokoh yang tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok yang paling mirip dengan Descartes dari kalangan kaum Rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari naql (teks Al-Qur’an dan Hadis), tetapi mereka menundukkan naql pada hukum akal. Mereka menetapkan bahwa akal adalah sebelum sam’i. Untuk itu, mereka menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat, menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh akal. Secara global, mereka menghindari hadis ahad. Prinsip mereka, “Menganalogikan yang tak terlihat kepada yang terlihat” secara mutlak tidak bisa diterima. Ini begitu bertentangan dengan prinsip menyerahkan kepada Allah yang dikemukakan oleh kaum, Salaf.
Aliran Mu’tazilah juga menyucikan kemerdekaan berpikir ketika menghadapi pihak lawan-lawan baik ke dalam, antar sesama mereka sendiri. Untuk itu mereka berkepentingan mendengarkan pandangan yang paling aneh dan absurd sekalipun, untuk dianalisa dan dikonfirmasikan kesalahannya. Sebagai contoh, al-Allaf (849 M=228 H) mengemukakan teori al-Jauhar al-Fard(teori atom). Teori ini ditolak oleh al Nazzam (845 M=231 H), murid dan anak saudara perempuannya sendiri.[3]
Pembuktian tentang adanya Allah
Dalam rangka menghadapi pihak zindiq dan ateis, kaum Mu’tazilah mendalami pembuktian adanya Allah lebih serius dibandingkan kaum Salaf dengan menggunakan bukti alami dan tradisional yang sudah dikenal sejarah modern maupun klasik. Mereka menetapkan bahwa alam temporal, hadis. Berawal dan berakhir. Semua temporal harus ada yang menciptakan. Teori al-Jauhar al-Fard (teori atom), dimaksudkan untuk menyangga teori al-Maddah al-Qadimah (materi eternal) yang dikemukakan Aristoteles, dapat disimpulkan bahwa alam terdiri atas bagian-bagian yang tidak akan ada dan tidak akan kekal tanpa perhatian Tuhan. Ini berarti, hanya ada kekuatan yang maha perkasa yang mengumpulkan hal-hal yang saling bertentangan itu. Kekuatan itu adalah Allah SWT.[4]
Teori Ketuhanan
Asas teori ketuhanan menurut Mu’tazilah adalah al-Tanzih dan al-Tauhid (penyucian dan pengesaan terhadap Allah SWT). Untuk itu mereka menyucikan Allah SWT dari materi dan aksidensianya, karena “Allah bukanlah jisim juga bukan bayangan, bukan substansi juga aksidensia”. Bukan bagian juga bukan keseluruhan (totalitas). Tidak dibatasi oleh zaman atau tempat. Tidak punya orang tua juga tidak punya anak. Tidak bisa dipandang mata, tidak bisa didengar telinga. Sama sekali tidak menyerupai makhluk. Dan secara sederhana, mereka menolak hadis-hadis yang memberi kesan al-jismiyyah (pembadanan, antropomorfisme) dan al-Maddiyah (materialitas). Mengenai prinsip bahwa “Allah tidak sama dengan segala yang temporal” tak seorangpun yang melakukan kajian dan penelitian sedalam yang dilakukan kaum Mu’tazilah. Mereka memerangi pemikiran al-Tasybih dan al-Tajsim yang gemanya menyusup ke dalam Islam dari agama-agama lain.
Ada tujuh sifat dimana Mu’tazilah mengkajinya secara khusus, yaitu al-‘Ilm (Maha Mengetahui), al-Hayah (Maha Hidup), al-Qudrat (Maha Kuasa), al-Iradah (Maha Berkehendak), al-Sam (Maha Mendengar), al-Basar (Maha Melihat), dan al-Kalam (Maha Berfirman).[5]
C      Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
Secara keseluruhan, Mu’tazilah mengkaji problematika sifat-sifat Allah. Dalam hal ini mereka mengemukakan banyak pandangan walaupun seluruhnya berlandaskan pada ide tauhid. Untuk itu kami kemukakan beberapa tokoh Mu’tazilah yang mengemukakan pemecahan yang berbeda-beda dalam menanggapi masalah sifat Tuhan, yaitu:
  1. Washil bin Atho
Nama lengkapnya adalah Abu Hudzaifah Washil bin Atho al-Ghazzal (80-131 H).Dia lahir di Madinah. Di sana ia belajar kepada Abu Hasyim Abdullah  bin Muhammad bin al-Hanafiah.Kemudian pindah ke Basrah.Dia juga merupakan murid dari Hasan al-Basri (wafat 110 H).Namun,ia kemudian keluar dari kelompok pengajarannya,karena tidak sepaham dengan masalah status orang yang berdosa besar.Selanjutnya mengadakan pengajaran sendiri dan akhirnya timbullah aliran yang  di dalam disebut dengan aliran Mu’tazilah.Karena itu ia dikenal sebagai perintis sekaligus pemuka pertama aliran tersebut.Washil dikenal sebagai orang yang cerdas,luas ilmu pengetahuannya,dan  ulung dalam berdebat.Ia pun cepat dan tepat dalam mengemukakan nas-nas al-Qur’an sebagai dasar pemikirannya dan trampil di dalam mentakwilkannya sehingga sesuai dengan paham dan pemikirannya.
1.      Ajaran pertama yang diajarkan Wasil adalah paham al-manzilah bain al manzilatain. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagai disebut kaum khawarij, dan bukan pula mukmin sebagai murji`ah , tetapi fasiq menduduki posisi antara mukmin dan kafir.
2.      Ajaran yang ke dua adalah paham qadariah yang dianjurkan oleh Ma`bad dan ghailan. Tuhan, kata Wasil bersifat bijaksana dan adil.
3.      Ajaran yang ke tiga mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat.
Dua dari ke tiga ajaran-ajarn tersebut yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat tuhan, kemudian merupakan bagian integral dari al-Usul al khomsah atau pancasila Mu`tazilah. Ketiga sila lainnya ialah al-adl; keadilan tuhan,al-wa`d wa al-wa`id, janji baik dan ncaman dan al-amr bi al-ma`ruf wa al-nahy `an al-munkar, memerintah orang untuk berbuat baik dan melaraang orang berbuat jahat wajib dijalankan, kalauperlu dengan kekerasan.

  1. Abu Huzail al-‘Allaf (849 M=228 H)
Tokoh Mu’tazilah Basrah yang menduduki tempat kedua setelah Washil adalah Abu Hudzail Al-Allaf.Dia dilahirkan pada tahun 135 H,tiga tahun setelah Bani Abbasiyah berkuasa.Al-‘Allaf dilahirkan di Basrah.Wafat pada tahun 235 H,yaitu pada awal pemerintahan al-Mutawakkil.Gurunya yang mengajarkan ke-Mu’tazilah-an adalah Utsman bin Khalid at-Thawil,murid Washil bin Atho.Kelebihan al-‘Allaf ialah mempunyai pengetahuan luas, pemikiran mendalam, lisan fasih, argumentasi kuat, pendebat aliran dualism dan Rafidah.Karena itulah ia mampu menyusun konsep-konsep dasar aliran Mu’tazilah. Puncak ketenarannya dicapai pada masa Khalifah al-Ma’mun (wafat 218 H).
Abu al-Huzail memiliki pengetahuan tentang logika yang hebat sehingga ia mahir dalam berdebat melawan golongan Majusi, Manicheist, atheis dan sebagainya.Salah satu pemikiran Abu Huzail mengatakan bahwa manusia diberi akal oleh Tuhannya dan dengan mempergunakan akalnya , dapat dan wajib mengetahui Tuhan, sehingga jika meanusia lalai dalam mengetahui Tuhan maka ia wajib diberi ganjaran atau hukuman.
Al-‘Allaf berpendapat bahwa Allah bukan jisim, tidak punya bentuk, guna menyanggah orang yang sezaman dengan dirinya, Hisyam bin al-Hakam(814 M=198 H) al-Sya’i. Dalam masalah sifat-sifat Allah, al-‘Allaf mengemukakan pandangan baru untuk menyanggah orang lain yang sezaman dengan dirinya, ‘Abd Allah Ibnu Killab al-Salafi. Ia berpendapat bahwa “Allah mengetahui dengan ilmu yang ilmu itu adalah Dia, Maha Kuasa melalui kekuasaan yang kekuasaan itu adalah Dia, Maha Hidup dengan sifat hayat yang sifat hayat itu adalah Dia”. Bagi al-;Allaf tidak ada bedanya antara sifat dari Zat (Allah).[6]
  1. Al-Nazzam (845 M=231 H)
Abu Ishak Ibrahim bin Sayyar bin Hani’ an-Nazzam,demikian namanya ,adalah salah seorang murid Abu Al-Hudzail.An-Nazzam ternyata memiliki kecerdasan melebihi gurunya.Ia dikenal sebagai teolog besar  sekaligus seorang filosof.
Al-Nazzam adalah filosof pertama dari kalangan Mu’tazilah yang paling mendalam pemikirannya. Paling berani, paling banyak berpikir merdeka, disamping orisinil pendapatnya diantara mereka. (Al-Nazzam adalah) anak saudara perempuan al-‘Allaf dan muridnya sekaligus. Al-Nazzam dilahirkan dan dibesarkan di Basrah, lalu berdomisili di Baghdad. Ia dinisbatkan kepada Balkh, sebuah kota yang beberapa abad sebelum Islam sudah mengenal kebudayaan Yunani
Ia menolak hal-hal yang berbau khurafat dan mitos. Ia tidak mau menerima hadis-hadis tentang jin dan setan. Ia punya teori-teori yang cermat seperti teori kammun, tafrah (lompatan) dan tadakhul.
Ia berpendapat bahwa konotasi sifat itu selalu saja salbi, negative. Jadi “Allah Maha Tahu” berarti mempositifisir zat-Nya tetapi menegaskan tidak tahu dari zat-Nya. Demikian pula halnya dengan sifat-sifat yang lain. Kehendak Tuhan, menurutnya, ada dua macam. Pertama, kehendak bagi perbuatan-perbuatan Allah, dalam arti menciptakannya. Kedua, kehendak bagi perbuatan-perbuatan makhluk, dalam arti memerintahkan atau melarang agar tidak dilakukan.[7]
  1. Mu’ammar bin ‘Ibbad al-Sulami (835 M=220 H)
Mu’ammar adalah guru dari para pendukung teori pengertian-pengertian, al-Ma’ani. Ia punya kecenderungan filosofis yang agak dalam dan pelik. Ia tumbuh dan berdomisili di Basrah, kemudian pindah ke Baghdad. Ia hidup sezaman dengan al-‘Allaf dan al-Nazzam. Mu’ammar mengemukakan teori yang menegaskan sifat-sifat (dari Allah SWT), dan serius untuk itu. Mu’ammar berpendapat lebih jauh lagi. Ia mengingkari kekuasaan Allah menciptakan aksidensia-aksidensia, dalam rangka menyucikan-Nya dari ruang dan temporalitas.[8]
  1. Abu Hasyim al-Jubba’i (932 M=321 H)
Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba’i adalah tokoh besar terakhir dari kalangan Mu’tazilah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Basrah. Ia belajar kepada ayahnya. Al-Jubba’i dan al-Asy’ari pada awalnya merupakan sendi yang menopangnya. Kemudian ia memisahkan diri darinya, berbeda pendapat darinya dan mendirikan kelompok khusus. Ia berpindah dari Baghdad. Teorinya tentang kondisi-kondisi, al-Ahwal, merupakan saksi terbaik yang membuktikan anggapan itu. Al-Jubba’i berusaha menolak sebagian teori kosmologi yang dikemukakan oleh Aristoteles.
Al-Jubba’i berpendapat bahwa ilmu (sifat Maha Mengetahui) dan qudrat (Maha Kuasa) adalah kondisi-kondisi, al-Ahwal. Sedangkan kondisi, al-Hal, adalah tidak ada dan tidak diketahui, dan tidak eternal dan tidak temporal, tetapi sebenarnya berhubungan dengan Zat. Dengan teori ini, seakan al-Jubba’i dekat dalam arti tertentu kepada Salaf, sehingga ia menerima sifat-sifat tetapi sifat-sifat itu ia anggap semata-mata kondisi yang dipersepsi oleh akal, tetapi tidak ada wujudnya di luar akal (ens ratione bukan ens reale-pen).[9]
  1. Al-Jahizh
Amr bin Bahar Abu Utsman al-Jahizh yang hidup pada masa-masa Al-Mu’tashim (227 H) dan al-Mutawakkil (247 H)  adalah salah seorang murid an-Nazzam yang terkemuka.Ia dikenal sebagai teolog dan filosof yang berpikiran liberal walaupun didalam pendapat nya tampak ada pengaruh aliran naturalis.
Al-Jazih berpendapat bahwa segala pengetahuan diperoleh menurut keharusan hukum Islam. Manusia tidak mempunyai usaha kecuali menetapkan kehendak.[10] Manusia juga  tidak memilki kebebasan kecuali dalam menentukan kehendak. Mengenai pengetahuan manusia pengetahuan merupakan hasil perbuatan manusia. Akibat pemikiran Al-jahizh barangkali dapat mempersempit orang kafir yang disiksa karena kafirannya. Al-Jhizh berpendapat bahwa orang-orang yang menyakahi agama Islam apabila mereka menentang ajaran Islam maka mereka disiksa namun apabila mereka memikirkannya maka mereka tidak akan disiksa. Al-jahish berpendapat juga bahwa yang dimaksud Tuhan mempunyai sifat maha berkehendak, kemudian takdir manusia itu ditentukan manusia itu sendiri. Selanjutnya sesui dengan paham naturalis ahli neraka dan api menjadi satu sehingga ahli neraka tidak akan merasakan penderitaan karena telah menyatu menjadi api itu sendiri.
D      Lima Pokok Ajaran Mu’tazilah
1.Prinsip Tauhid/ al-Tauhid: dimaksudkan untuk menolak paham Mujassimah dan Musyabbihah.
2.Prinsip keadilan: dimaksudkan untuk menolak paham Jabariyah ekstrim.
3.Prinsip satu tempat diantara dua tempat/Al-Manzilah bain al-Manzilatain: dimaksudkan untuk menolak paham Murji’ah dan Khawarij sekaligus.
4.Prinsip janji dan ancaman/al-Wa’ad wa al-Wa’id: dimaksudkan unutk menolak paham Murji’ah ekstrim.
5.Prinsip mengajak kepada kebaikan dan melarang kemungkaran/al-Amr al-Ma’ruf al-Nahy wa al-Munkar: dimaksudkan untuk menyiarkan Islam dan menunjukkan orang yang sesat serta mencegah serangan orang yang mencampur adukkan kebenaran dan kebatilan sehingga mereka tidak dapat menghancurkan Islam.

E       Masa Kemunduran Aliran Mu’tazilah
Berbicara mengenai kemunduran aliran Mu’tazilah setidaknya mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemunduran itu. Setelah paham Mu’tazilah menjadi paham resmi Negara  maka atas nama dan dukungan penguasa mereka berusaha memaksakan paham kemu’tazilahan ,khususnya mengenai “Kemakhlukan Al-Qur’an”, diikuti oleh golongan-golongan lain dan kaum muslimin lainnnya. Padahal semestinya seorang muslim bebas untuk mempunyai paham sesuai dengan kebebasan berfikir sebagaimana kebebasan yang dijunjung tinggi oleh kaum Mu’tazilah sendiri. Dengan kata lain ,Mu’tazilah justru merampas  kebebasan muslimin lainnya dengan berusah memaksakan kehendak paham kemu’tazilahan kepada umat muslim lainnya.Sebagai akibat dari tindakan kaum Mu’tazilah tersebut kaum muslimin mulai tidak senang dengan aliran Mu’tazilah. Sejak itu,aliran Mu’tazilah berangsur-angsur lemah dan mundur.
BAB III
KESIMPULAN`
Pemikiran kaum Mu`tazillah adalah pemikiran yang kritis dengan mengutamakan akal sebagai acuan utamanya. Aliran mu`tazillah diprakarsai oleh Washil bin Atho` yang lahir  di Madinah. Ciri khas dari aliran adalah penganalogian sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang terlihat.
Aliran ini berkembang pada dua fase yaitu fase abbasiah dan fase bani buwaihi. Dalam sejarahnya aliran ini mulai mengalami kemunduran setelah aliran mereka menekan atau memaksakan paham keMu`tazillahannya kepada golongan lain. Sehingga paham ini mendapatkan pertentangan dari golongan lain yang tidak sepaham dengannya.
Dalam khasanah islam, aliran Mu`tazillah menjadi bahan pengkajian yang selayaknya kita mengerti sebagai umat islam. Karena mereka adalah bagian dari proses  yang tidak terlepaskan dalam perkembangan pemikiran-pemikiran umat islam hingga sekarang. Perbedaan pemahaman/pemikiran adalah kekayaan yang luar biasa dalam islam. Tinggal bagaimana kita mensikapinya sebagai umat islam.


DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim Madkour. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta . Bumi Aksara.
Busyairi, Kusmin. 1985. Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah. Yogyakarta:UD RAMA.
Nasution, Harun. 2008. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Wahyudi Asmin, Yudian. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Watt, W. Montgomery. 1948. Free Will and Predestination in Early Islam. Bristol: Burleigh Press.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press.



[1] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 45-46
[2] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 46-47
[3] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 48-49
[4] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 50
[5] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 51-52
[6] Ibrahim Madkour,  Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 53-54
[7] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 55-57
[8] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 57
[9] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal. 58-59
[10] Kusmin busyairi, Konsep Aliran Teologi Mu`tazilah, (yogyakarta : UD Rama), 1985, hal. 88

Tauhid

Aliran Teologi Islam (MU'TAZILAH)
BAB I
PENDAHULUAN
            Dalam khasanah kekayaan islam terdapat banyak sekali kekayaan-kekayaan yang beraneka ragam. Dari kekayaan kebudayaan yang setiap tempat dan setiap masa berubah sampai kepada corak dan pola pikir yang dimiliki umat islam yang setiap saat berubah mengikuti alur kemajuan pada zamannya sendiri-sendiri. Banyak sekali perbedaan pendapat yang terjadi pada diri tiap pribadi muslim ataupun kelompok muslim yang tentunya setiap individu ataupun kelompok tersebut mengklaim bahwa  merekalah yang paling benar menurut pendapatnya.
Perbedaan tersebut seolah semakin menambah khasanah kekayaan yang tiada ternilai bagi perkembangan umat islam. Dari waktu ke waktu, perbedaan tersebut akhirnya dapat dijadikan bahan ajar bagi umat islam di seluruh belahan dunia yang ingin mengenal ajaran islam secara universal dengan perbagai pendekatannya. Contohnya adalah perkembangan-perkembangan kebudayaan maupun pemikiran yang terjadi pada masa bani abbasiah yang didalamnya terdapat pemikiran-pemikiran dari kaum Mu`tazillah yang pada makalah ini akan kami angkat sebagai bahan pembahasan tentang aliran rasional dalam islam.
Aliran rasional dalam islam sebenarnya bukan hanya terjadi pada kaum mu`tazillah saja, akan tetapi kami memfokuskan diri pada hal tersebut untuk lebih memudahkan dalam pengkajian dan pembahasan. Karena pada dasarnya kaum mu`tazillah adalah pelopor awal terjadinya pemikiran rasional (yang lebih mengutamakan akal) dalam khasanah kekayaan perbedaan dalam islam.
Didalam makalah ini kami akan membahas tentang: Sejarah kaum Mu`tazillah terutama pada awal-awalnya, Methode pemikiran kaum Mu`tazillah, kemudian Beberapa tokoh dalam kaum Mu`tazillah, dilanjutkan dengan Lima prinsip kaum Mu`tazillah, dan yang terakhir adalah Masa kemunduran kaum Mu`tazillah serta Penutup/kesimpulan.
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari masih banyak sekali kekurangannya, untuk itu saran dan kritik dari semua pihak yang sifatnya membangun selalu kami nantikan.
BAB II
PEMBAHASAN

Orang-orang Mu’tazilah adalah pendiri yang sebenarnya bagi ilmu kalam (teologi Islam). Mereka membahas secara filosofis hal-hal yang tadinya belum diketahui melalui metode filsafat. Mereka memberikan pemecahan atas problematika-problematika pelik semisal teori kammun, tafrah, dan tawallud, dengan menampilkan pemecahan-pemecahan baru. Seperti studi tentang akidah. Sampai pada dasawarsa kelima dari abad ini, di hadapan kita hanya ada dua karya Mu’tazilah generasi pertama tentang akidah. Pertama, Durrah al-Tanzil wa Garrah al-Ta’wail karya al-Iskafi (855 M). Kedua, al-Intisar karya al-Khayyat (318 H=910 M).[1]
A      Sejarah Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasiah (100 H-237 M) dan fase Bani Buwaihi (334 H-447 M). Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan Bani Umayah dalam waktu yang tidak begitu lama. Kemudian memenuhi zaman awal Daulah Abbasiah, dimulai di Basrah yang kemudian berdiri cabang sampai ke Baghdad.
Mu’tazilah sekitar satu abad (237 H-334 M) mengalami kemunduran. Karena tidak dapat memanfaatkan yang dilakukan al-Jahiz (255 H=869 M) maupun al-Khayyat. Antara abad 3-4 H Abu’Ali al-Jubba’I (303 H=933 M) hendak membangkitkan kembali Mu’tazilah, tetapi gagal karena serangan al-Asy’ari dan akhirnya bergabung dengan Syi’ah dan Rafidah.
Pada awalnya Mu’tazilah mengutamakan sikap netral dalam pendapat dan tindakan. Mu’tazilah tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika imamah sebagai sumber perpecahan pertama tetapi mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori al-Manzilah bin al-Mazilatain (tempat di antara dua tempat). Akan tetapi di bawah tekanan kaum Asy’ariah dan Ahl al-Sunnah nampaknya mereka terpaksa berlindung kepada Bani Buwaihi. Sekali lagi mereka harus memanfaatkan kondisi politik, yang kemudian membantu menyebarkan madzhab mereka di Persia, Bahrain, dan Yaman terutama atas prakarsa Sahib bin Ibbad (995 M=385 H) seorang menteri dari Bani Buwaihi berusaha menancapkan pandangan Mu’tazilah dengan cara memberi kepuasan kadang dengan cara menghasut. Begitu Daulah Bani Buwaihi runtuh dan digantikan oleh pemerintahan Turki Usmani, segera gerakan Mu’tazilah menjadi lemah. Pengaruh mereka tinggal terbatas pada barisan-barisan Syi’ah Zaidiah.[2]

B       Metode Mu’tazilah
Ciri khas dari Mu’tazilah ialah meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini digunakan untuk menghukum berbagai hal. Mereka berpendapat bahwa alam memiliki hukum kokoh yang tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok yang paling mirip dengan Descartes dari kalangan kaum Rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari naql (teks Al-Qur’an dan Hadis), tetapi mereka menundukkan naql pada hukum akal. Mereka menetapkan bahwa akal adalah sebelum sam’i. Untuk itu, mereka menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat, menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh akal. Secara global, mereka menghindari hadis ahad. Prinsip mereka, “Menganalogikan yang tak terlihat kepada yang terlihat” secara mutlak tidak bisa diterima. Ini begitu bertentangan dengan prinsip menyerahkan kepada Allah yang dikemukakan oleh kaum, Salaf.
Aliran Mu’tazilah juga menyucikan kemerdekaan berpikir ketika menghadapi pihak lawan-lawan baik ke dalam, antar sesama mereka sendiri. Untuk itu mereka berkepentingan mendengarkan pandangan yang paling aneh dan absurd sekalipun, untuk dianalisa dan dikonfirmasikan kesalahannya. Sebagai contoh, al-Allaf (849 M=228 H) mengemukakan teori al-Jauhar al-Fard(teori atom). Teori ini ditolak oleh al Nazzam (845 M=231 H), murid dan anak saudara perempuannya sendiri.[3]
Pembuktian tentang adanya Allah
Dalam rangka menghadapi pihak zindiq dan ateis, kaum Mu’tazilah mendalami pembuktian adanya Allah lebih serius dibandingkan kaum Salaf dengan menggunakan bukti alami dan tradisional yang sudah dikenal sejarah modern maupun klasik. Mereka menetapkan bahwa alam temporal, hadis. Berawal dan berakhir. Semua temporal harus ada yang menciptakan. Teori al-Jauhar al-Fard (teori atom), dimaksudkan untuk menyangga teori al-Maddah al-Qadimah (materi eternal) yang dikemukakan Aristoteles, dapat disimpulkan bahwa alam terdiri atas bagian-bagian yang tidak akan ada dan tidak akan kekal tanpa perhatian Tuhan. Ini berarti, hanya ada kekuatan yang maha perkasa yang mengumpulkan hal-hal yang saling bertentangan itu. Kekuatan itu adalah Allah SWT.[4]
Teori Ketuhanan
Asas teori ketuhanan menurut Mu’tazilah adalah al-Tanzih dan al-Tauhid (penyucian dan pengesaan terhadap Allah SWT). Untuk itu mereka menyucikan Allah SWT dari materi dan aksidensianya, karena “Allah bukanlah jisim juga bukan bayangan, bukan substansi juga aksidensia”. Bukan bagian juga bukan keseluruhan (totalitas). Tidak dibatasi oleh zaman atau tempat. Tidak punya orang tua juga tidak punya anak. Tidak bisa dipandang mata, tidak bisa didengar telinga. Sama sekali tidak menyerupai makhluk. Dan secara sederhana, mereka menolak hadis-hadis yang memberi kesan al-jismiyyah (pembadanan, antropomorfisme) dan al-Maddiyah (materialitas). Mengenai prinsip bahwa “Allah tidak sama dengan segala yang temporal” tak seorangpun yang melakukan kajian dan penelitian sedalam yang dilakukan kaum Mu’tazilah. Mereka memerangi pemikiran al-Tasybih dan al-Tajsim yang gemanya menyusup ke dalam Islam dari agama-agama lain.
Ada tujuh sifat dimana Mu’tazilah mengkajinya secara khusus, yaitu al-‘Ilm (Maha Mengetahui), al-Hayah (Maha Hidup), al-Qudrat (Maha Kuasa), al-Iradah (Maha Berkehendak), al-Sam (Maha Mendengar), al-Basar (Maha Melihat), dan al-Kalam (Maha Berfirman).[5]
C      Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
Secara keseluruhan, Mu’tazilah mengkaji problematika sifat-sifat Allah. Dalam hal ini mereka mengemukakan banyak pandangan walaupun seluruhnya berlandaskan pada ide tauhid. Untuk itu kami kemukakan beberapa tokoh Mu’tazilah yang mengemukakan pemecahan yang berbeda-beda dalam menanggapi masalah sifat Tuhan, yaitu:
  1. Washil bin Atho
Nama lengkapnya adalah Abu Hudzaifah Washil bin Atho al-Ghazzal (80-131 H).Dia lahir di Madinah. Di sana ia belajar kepada Abu Hasyim Abdullah  bin Muhammad bin al-Hanafiah.Kemudian pindah ke Basrah.Dia juga merupakan murid dari Hasan al-Basri (wafat 110 H).Namun,ia kemudian keluar dari kelompok pengajarannya,karena tidak sepaham dengan masalah status orang yang berdosa besar.Selanjutnya mengadakan pengajaran sendiri dan akhirnya timbullah aliran yang  di dalam disebut dengan aliran Mu’tazilah.Karena itu ia dikenal sebagai perintis sekaligus pemuka pertama aliran tersebut.Washil dikenal sebagai orang yang cerdas,luas ilmu pengetahuannya,dan  ulung dalam berdebat.Ia pun cepat dan tepat dalam mengemukakan nas-nas al-Qur’an sebagai dasar pemikirannya dan trampil di dalam mentakwilkannya sehingga sesuai dengan paham dan pemikirannya.
1.      Ajaran pertama yang diajarkan Wasil adalah paham al-manzilah bain al manzilatain. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagai disebut kaum khawarij, dan bukan pula mukmin sebagai murji`ah , tetapi fasiq menduduki posisi antara mukmin dan kafir.
2.      Ajaran yang ke dua adalah paham qadariah yang dianjurkan oleh Ma`bad dan ghailan. Tuhan, kata Wasil bersifat bijaksana dan adil.
3.      Ajaran yang ke tiga mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat.
Dua dari ke tiga ajaran-ajarn tersebut yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat tuhan, kemudian merupakan bagian integral dari al-Usul al khomsah atau pancasila Mu`tazilah. Ketiga sila lainnya ialah al-adl; keadilan tuhan,al-wa`d wa al-wa`id, janji baik dan ncaman dan al-amr bi al-ma`ruf wa al-nahy `an al-munkar, memerintah orang untuk berbuat baik dan melaraang orang berbuat jahat wajib dijalankan, kalauperlu dengan kekerasan.

  1. Abu Huzail al-‘Allaf (849 M=228 H)
Tokoh Mu’tazilah Basrah yang menduduki tempat kedua setelah Washil adalah Abu Hudzail Al-Allaf.Dia dilahirkan pada tahun 135 H,tiga tahun setelah Bani Abbasiyah berkuasa.Al-‘Allaf dilahirkan di Basrah.Wafat pada tahun 235 H,yaitu pada awal pemerintahan al-Mutawakkil.Gurunya yang mengajarkan ke-Mu’tazilah-an adalah Utsman bin Khalid at-Thawil,murid Washil bin Atho.Kelebihan al-‘Allaf ialah mempunyai pengetahuan luas, pemikiran mendalam, lisan fasih, argumentasi kuat, pendebat aliran dualism dan Rafidah.Karena itulah ia mampu menyusun konsep-konsep dasar aliran Mu’tazilah. Puncak ketenarannya dicapai pada masa Khalifah al-Ma’mun (wafat 218 H).
Abu al-Huzail memiliki pengetahuan tentang logika yang hebat sehingga ia mahir dalam berdebat melawan golongan Majusi, Manicheist, atheis dan sebagainya.Salah satu pemikiran Abu Huzail mengatakan bahwa manusia diberi akal oleh Tuhannya dan dengan mempergunakan akalnya , dapat dan wajib mengetahui Tuhan, sehingga jika meanusia lalai dalam mengetahui Tuhan maka ia wajib diberi ganjaran atau hukuman.
Al-‘Allaf berpendapat bahwa Allah bukan jisim, tidak punya bentuk, guna menyanggah orang yang sezaman dengan dirinya, Hisyam bin al-Hakam(814 M=198 H) al-Sya’i. Dalam masalah sifat-sifat Allah, al-‘Allaf mengemukakan pandangan baru untuk menyanggah orang lain yang sezaman dengan dirinya, ‘Abd Allah Ibnu Killab al-Salafi. Ia berpendapat bahwa “Allah mengetahui dengan ilmu yang ilmu itu adalah Dia, Maha Kuasa melalui kekuasaan yang kekuasaan itu adalah Dia, Maha Hidup dengan sifat hayat yang sifat hayat itu adalah Dia”. Bagi al-;Allaf tidak ada bedanya antara sifat dari Zat (Allah).[6]
  1. Al-Nazzam (845 M=231 H)
Abu Ishak Ibrahim bin Sayyar bin Hani’ an-Nazzam,demikian namanya ,adalah salah seorang murid Abu Al-Hudzail.An-Nazzam ternyata memiliki kecerdasan melebihi gurunya.Ia dikenal sebagai teolog besar  sekaligus seorang filosof.
Al-Nazzam adalah filosof pertama dari kalangan Mu’tazilah yang paling mendalam pemikirannya. Paling berani, paling banyak berpikir merdeka, disamping orisinil pendapatnya diantara mereka. (Al-Nazzam adalah) anak saudara perempuan al-‘Allaf dan muridnya sekaligus. Al-Nazzam dilahirkan dan dibesarkan di Basrah, lalu berdomisili di Baghdad. Ia dinisbatkan kepada Balkh, sebuah kota yang beberapa abad sebelum Islam sudah mengenal kebudayaan Yunani
Ia menolak hal-hal yang berbau khurafat dan mitos. Ia tidak mau menerima hadis-hadis tentang jin dan setan. Ia punya teori-teori yang cermat seperti teori kammun, tafrah (lompatan) dan tadakhul.
Ia berpendapat bahwa konotasi sifat itu selalu saja salbi, negative. Jadi “Allah Maha Tahu” berarti mempositifisir zat-Nya tetapi menegaskan tidak tahu dari zat-Nya. Demikian pula halnya dengan sifat-sifat yang lain. Kehendak Tuhan, menurutnya, ada dua macam. Pertama, kehendak bagi perbuatan-perbuatan Allah, dalam arti menciptakannya. Kedua, kehendak bagi perbuatan-perbuatan makhluk, dalam arti memerintahkan atau melarang agar tidak dilakukan.[7]
  1. Mu’ammar bin ‘Ibbad al-Sulami (835 M=220 H)
Mu’ammar adalah guru dari para pendukung teori pengertian-pengertian, al-Ma’ani. Ia punya kecenderungan filosofis yang agak dalam dan pelik. Ia tumbuh dan berdomisili di Basrah, kemudian pindah ke Baghdad. Ia hidup sezaman dengan al-‘Allaf dan al-Nazzam. Mu’ammar mengemukakan teori yang menegaskan sifat-sifat (dari Allah SWT), dan serius untuk itu. Mu’ammar berpendapat lebih jauh lagi. Ia mengingkari kekuasaan Allah menciptakan aksidensia-aksidensia, dalam rangka menyucikan-Nya dari ruang dan temporalitas.[8]
  1. Abu Hasyim al-Jubba’i (932 M=321 H)
Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba’i adalah tokoh besar terakhir dari kalangan Mu’tazilah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Basrah. Ia belajar kepada ayahnya. Al-Jubba’i dan al-Asy’ari pada awalnya merupakan sendi yang menopangnya. Kemudian ia memisahkan diri darinya, berbeda pendapat darinya dan mendirikan kelompok khusus. Ia berpindah dari Baghdad. Teorinya tentang kondisi-kondisi, al-Ahwal, merupakan saksi terbaik yang membuktikan anggapan itu. Al-Jubba’i berusaha menolak sebagian teori kosmologi yang dikemukakan oleh Aristoteles.
Al-Jubba’i berpendapat bahwa ilmu (sifat Maha Mengetahui) dan qudrat (Maha Kuasa) adalah kondisi-kondisi, al-Ahwal. Sedangkan kondisi, al-Hal, adalah tidak ada dan tidak diketahui, dan tidak eternal dan tidak temporal, tetapi sebenarnya berhubungan dengan Zat. Dengan teori ini, seakan al-Jubba’i dekat dalam arti tertentu kepada Salaf, sehingga ia menerima sifat-sifat tetapi sifat-sifat itu ia anggap semata-mata kondisi yang dipersepsi oleh akal, tetapi tidak ada wujudnya di luar akal (ens ratione bukan ens reale-pen).[9]
  1. Al-Jahizh
Amr bin Bahar Abu Utsman al-Jahizh yang hidup pada masa-masa Al-Mu’tashim (227 H) dan al-Mutawakkil (247 H)  adalah salah seorang murid an-Nazzam yang terkemuka.Ia dikenal sebagai teolog dan filosof yang berpikiran liberal walaupun didalam pendapat nya tampak ada pengaruh aliran naturalis.
Al-Jazih berpendapat bahwa segala pengetahuan diperoleh menurut keharusan hukum Islam. Manusia tidak mempunyai usaha kecuali menetapkan kehendak.[10] Manusia juga  tidak memilki kebebasan kecuali dalam menentukan kehendak. Mengenai pengetahuan manusia pengetahuan merupakan hasil perbuatan manusia. Akibat pemikiran Al-jahizh barangkali dapat mempersempit orang kafir yang disiksa karena kafirannya. Al-Jhizh berpendapat bahwa orang-orang yang menyakahi agama Islam apabila mereka menentang ajaran Islam maka mereka disiksa namun apabila mereka memikirkannya maka mereka tidak akan disiksa. Al-jahish berpendapat juga bahwa yang dimaksud Tuhan mempunyai sifat maha berkehendak, kemudian takdir manusia itu ditentukan manusia itu sendiri. Selanjutnya sesui dengan paham naturalis ahli neraka dan api menjadi satu sehingga ahli neraka tidak akan merasakan penderitaan karena telah menyatu menjadi api itu sendiri.
D      Lima Pokok Ajaran Mu’tazilah
1.Prinsip Tauhid/ al-Tauhid: dimaksudkan untuk menolak paham Mujassimah dan Musyabbihah.
2.Prinsip keadilan: dimaksudkan untuk menolak paham Jabariyah ekstrim.
3.Prinsip satu tempat diantara dua tempat/Al-Manzilah bain al-Manzilatain: dimaksudkan untuk menolak paham Murji’ah dan Khawarij sekaligus.
4.Prinsip janji dan ancaman/al-Wa’ad wa al-Wa’id: dimaksudkan unutk menolak paham Murji’ah ekstrim.
5.Prinsip mengajak kepada kebaikan dan melarang kemungkaran/al-Amr al-Ma’ruf al-Nahy wa al-Munkar: dimaksudkan untuk menyiarkan Islam dan menunjukkan orang yang sesat serta mencegah serangan orang yang mencampur adukkan kebenaran dan kebatilan sehingga mereka tidak dapat menghancurkan Islam.

E       Masa Kemunduran Aliran Mu’tazilah
Berbicara mengenai kemunduran aliran Mu’tazilah setidaknya mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemunduran itu. Setelah paham Mu’tazilah menjadi paham resmi Negara  maka atas nama dan dukungan penguasa mereka berusaha memaksakan paham kemu’tazilahan ,khususnya mengenai “Kemakhlukan Al-Qur’an”, diikuti oleh golongan-golongan lain dan kaum muslimin lainnnya. Padahal semestinya seorang muslim bebas untuk mempunyai paham sesuai dengan kebebasan berfikir sebagaimana kebebasan yang dijunjung tinggi oleh kaum Mu’tazilah sendiri. Dengan kata lain ,Mu’tazilah justru merampas  kebebasan muslimin lainnya dengan berusah memaksakan kehendak paham kemu’tazilahan kepada umat muslim lainnya.Sebagai akibat dari tindakan kaum Mu’tazilah tersebut kaum muslimin mulai tidak senang dengan aliran Mu’tazilah. Sejak itu,aliran Mu’tazilah berangsur-angsur lemah dan mundur.
BAB III
KESIMPULAN`
Pemikiran kaum Mu`tazillah adalah pemikiran yang kritis dengan mengutamakan akal sebagai acuan utamanya. Aliran mu`tazillah diprakarsai oleh Washil bin Atho` yang lahir  di Madinah. Ciri khas dari aliran adalah penganalogian sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang terlihat.
Aliran ini berkembang pada dua fase yaitu fase abbasiah dan fase bani buwaihi. Dalam sejarahnya aliran ini mulai mengalami kemunduran setelah aliran mereka menekan atau memaksakan paham keMu`tazillahannya kepada golongan lain. Sehingga paham ini mendapatkan pertentangan dari golongan lain yang tidak sepaham dengannya.
Dalam khasanah islam, aliran Mu`tazillah menjadi bahan pengkajian yang selayaknya kita mengerti sebagai umat islam. Karena mereka adalah bagian dari proses  yang tidak terlepaskan dalam perkembangan pemikiran-pemikiran umat islam hingga sekarang. Perbedaan pemahaman/pemikiran adalah kekayaan yang luar biasa dalam islam. Tinggal bagaimana kita mensikapinya sebagai umat islam.


DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim Madkour. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta . Bumi Aksara.
Busyairi, Kusmin. 1985. Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah. Yogyakarta:UD RAMA.
Nasution, Harun. 2008. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Wahyudi Asmin, Yudian. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Watt, W. Montgomery. 1948. Free Will and Predestination in Early Islam. Bristol: Burleigh Press.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press.



[1] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 45-46
[2] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 46-47
[3] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 48-49
[4] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 50
[5] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 51-52
[6] Ibrahim Madkour,  Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 53-54
[7] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 55-57
[8] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal 57
[9] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori FIlsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995, hal. 58-59
[10] Kusmin busyairi, Konsep Aliran Teologi Mu`tazilah, (yogyakarta : UD Rama), 1985, hal. 88